Di wilayah Pulau Ambon juga terdapat jejak penyebaran agama Islam dan agama Kristen yang ditandai oleh masjid dan gereja yang usianya lebih dari 400 tahun. Agama Islam masuk sekitar abad ke-15 Masehi yang dibawa oleh Perdana Jamilu yang berasal dari Kesultanan Jailolo, Maluku Utara. Beliau mendirikan masjid pada tahun 1414 dan awalnya bernama masjid Wawane karena terletak di lereng bukit Wawane.
Masjid ini mengalami beberapa kali perpindahan akibat gangguan dari Belanda sebelum akhirnya menempati lokasi sekarang ini. Pada tahun 1614 masjid sempat dipindahkan ke Negeri Tehala untuk menghindari gangguan perang dengan Belanda. Namun akhirnya Belanda berhasil menguasai wilayah tersebut dan pada tahun 1664 masjid kembali dipindahkan ke negeri Kaitetu yang terletak di tepi pantai seiring dengan perpindahan penduduk dari lereng gunung untuk memudahkan pengawasan.
Bentuk masjidnya sendiri masih sama dengan saat terakhir kali pindah ke negeri Kaitetu dengan sedikit perbaikan saja. Bangunannya terbuat dari kayu dengan dinding gaba-gaba atau pelepah sagu kering beratap rumbia. Model arsitekturnya seperti bangunan masjid tradisional di Jawa dengan penompang kayu besar tanpa paku, hanya pasak kayu saja sebagai pengikatnya sehingga mudah dibongkar pasang atau dipindahkan.
Di dalam masjid masih tersimpan mushaf Al Quran tertua di Ambon yang selesai ditulis tahun 1550, kitab-kitab kuno, manuskrip, serta beberapa catatan khutbah Jumat pada masa penjajahan Belanda dulu. Selain itu terdapat juga kepingan logam berbentuk burung bertuliskan kalimat Laa Ilaa Ha Illallah serta penakar zakat fitrah yang masih terawat dengan baik.
Sementara itu gereja Immanuel dibangun oleh Belanda tahun 1659 untuk menyebarkan agama Nasrani di wilayah negeri Hila dan sekitarnya. Sayangnya tidak ada informasi jelas tentang sejarah pembangunan dan perkembangan gereja tersebut. Namun pada tahun 1999 ketika terjadi kerusuhan di Ambon gereja ini sempat dibakar dan direnovasi kembali menjadi bangunan cagar budaya hingga saat ini.
Bentuk gerejanya cukup sederhana seperti ruang pertemuan dengan mimbar dan delapan kali dua baris bangku, tempat duduk untuk beribadah serta ruang kecil untuk pendeta. Bangunannya terbuat dari kayu beratapkan rumbia. Di dekat pintu masuk terdapat menara lonceng gereja sebagai pengingat waktu beribadah. Tak banyak peninggalan yang tersimpan di gereja tersebut, dan saat ini tidak lagi digunakan untuk beribadah karena penduduk yang menganut agama Kristen sudah berpindah ke tempat lain pasca kerusuhan Ambon.
Uniknya, letak masjid dan gereja tersebut berdekatan hanya terpaut jarak sekitar 300 meter saja. Bahkan gereja Imanuel berjarak hanya sekitar 70 meter dari pintu gerbang benteng Amsterdam. Jadi ketiga bangunan bersejarah tersebut boleh dibilang berada dalam satu kompleks walau beda desa karena letaknya di perbatasan. Gereja Imanuel dan Benteng Amsterdam terletak di desa Hila, sementara Masjid Wapauwe terletak di desa Kaitetu.
Untuk mengunjungi kedua lokasi bersejarah tersebut, bisa satu paket dengan kunjungan ke benteng Amsterdam karena lokasinya berdekatan satu sama lain. Wisatawan terutama pecinta sejarah wajib mengunjungi ketiga obyek wisata sejarah tersebut, untuk mengingatkan kembali perkembangan agama-agama Samawi serta kiprah penjajah Belanda di Ambon. Tidak ada biaya masuk untuk mengunjungi kedua tempat tersebut, hanya cukup mengisi buku tamu dan sumbangan seikhlasnya.
Negeri Kaitetu dan Negeri Hila sebagai tempat bernaung ketiga obyek tersebut, berada di Jazirah Leihitu yang berjarak sekitar 35 kilometer dari pusat kota Ambon, melalui Jembatan Merah Putih dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam. Sementara dari bandara Pattimura berjarak sekitar 40 kilometer dari arah yang berlawanan. Wisatawan sebaiknya menggunakan kendaraan sendiri atau menyewa mobil karena tidak ada angkutan umum yang langsung menuju lokasi tersebut.(Diaz)