Para penjajah mulai dari Portugis hingga Belanda datang ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah seperti pala dan cengkih yang tumbuh subur di daerah tropis. Mereka berebut tanah jajahan untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut hingga dibawa ke negerinya. Untuk itu para penjajah membangun loji atau benteng sebagai pos penjagaan untuk melakukan pengontrolan terhadap lalulintas perdagangan rempah-rempah.
Salah satu loji atau benteng terkenal di Ambon adalah Benteng Amsterdam yang terletak di sebelah utara Pulau Ambon tepatnya di Negeri Hila, Jazirah Leihitu. Awalnya benteng ini berupa loji atau pos penjagaan kecil yang dibangun Portugis untuk memperkuat kedudukannya di Pulau Ambon pada tahun 1512, oleh sepasukan tentara yang dipimpin Francisco Serao. Di dalam loji ini disimpan pala dan cengkih sebelum dikirim ke Eropa untuk diperdagangkan. Selain itu loji ini berfungsi untuk mempertahankan Pulau Ambon dari serangan kapal asing yang lalu lalang di sekitar Teluk Ambon yang mulai ramai.
Namun kemudian Portugis kalah dari Belanda tahun 1605, hingga menyingkir ke Pulau Timor sebelah timur. Belanda menggantikan kedudukan Portugis untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah di Maluku serta mengambil alih loji tersebut. Kemudian bangunan loji diperbesar hingga menjadi benteng pertahanan oleh Gubernur Jenderal van Ottens pada tahun 1637. Bentuk benteng tersebut bertahan hingga sekarang ini setelah sempat rusak dan terabaikan pasca perang kemerdekaan, lalu dipugar kembali dan dijadikan musium.
Bentengnya sendiri terdiri dari bangunan utama yang berada di tengah benteng dan pagar yang melingkarinya untuk melindungi bangunan utama dari serangan musuh. Bangunan utama terdiri dari tiga lantai, lantai satu dan dua untuk tempat tinggal tentara, dan lantai tiga untuk memantau keadaan dari segala sudut. Atapnya yang sekarang ini sudah tidak asli lagi dan diganti dengan seng sehingga agak terasa panas di dalam.
Lantai satunya berbata merah dan dibawahnya ada penjara serta tempat menyimpan mesiu. Sementara lantai dua dan tiga terbuat dari kayu dan terdapat tangga yang menghubungkan antar lantai di tengah bangunan. Ruang di tiap lantai terbuka sehingga tampak lapang, namun gelap bila jendela yang ada di tiap sisinya ditutup. Terkadang ada burung masuk ketika jendela lantai atas dibuka, ketika ingin melihat pemandangan indah laut di depannya atau perbukitan di belakangnya.
Sementara itu di setiap sudut benteng terdapat pos penjagaan yang dilengkapi dengan tempat meriam untuk memantau pergerakan kapal di laut serta situasi daratan mengingat saat itu sering terjadi pemberontakan oleh penduduk setempat. Beberapa kali terjadi pertempuran antara Belanda dengan Kerajaan Hitu yang menguasai Pulau Ambon, hingga akhirnya Belanda benar-benar memperkuat armadanya di Ambon untuk mengambil alih kekuasaan atas Pulau Ambon dari tangan Kerajaan Hitu.
Benteng Amsterdam berjarak sekitar 42 kilometer dari pusat kota Ambon, tepatnya di perbatasan negeri Hitu dan Kaitetu di sebelah utara pulau Ambon dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam perjalanan. Sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa kendaraan untuk menuju ke arah benteng, karena tidak ada angkutan umum yang langsung sampai ke daerah tersebut. Perjalanan menuju benteng cukup mengasyikkan karena membelah bukit yang memisahkan pantai utara dan selatan Ambon, sehingga agak sedikit berkelok-kelok melalui jalan yang sempit selepas jalan utama menuju bandara Pattimura.
Tarif masuknya tidak ditentukan tapi berupa sumbangan seikhlasnya, yang dibayarkan di sebuah bangunan kecil di halaman depan benteng dekat lapangan parkir. Bangunan tersebut merupakan musium tempat menyimpan benda-benda peninggalan benteng yang masih tersisa seperti perlengkapan perang berupa meriam, senjata, dan barang pecah belah lainnya.(Diaz)