Musium ini adalah bagian terakhir dari rangkaian sejarah penambangan batubara di Sawahlunto, setelah musium kereta api dan musium lubang tambang mbah Soero. Letaknya hanya sekitar 300 meter saja dari musium Lubang Tambang Mbah Soero, dan berada di ujung jalan tersebut dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Kedua musium tersebut terletak di jalan Abdurrahman Hakim, Sawahlunto.
Dahulu gedung musium ini merupakan dapur raksasa bagi sekitar 3000 pekerja tambang batubara. Setiap hari mereka memasak dengan jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan makan para pekerja tersebut. Di dalamnya terdapat dua buah tungku masak besar dengan menggunakan sistem penguapan yang disalurkan melalui pipa untuk 20 tungku kecil lainnya. Setiap hari para pekerja yang jumlahnya sekitar 100 orang, memasak 3900 kg beras untuk para pekerja tambang dan keluarganya, serta para pengawal dan pasien rumah sakit.
Menu makanan yang dimasak bersama nasi antara lain daging, ikan asin, telur asin, sayur kol, dan sawi yang disajikan pada siang dan malam hari. Sementara untuk sarapan mereka memasak lapek, yang terbuat dari beras ketan merah, yang ditaburi kelapa dan gula merah lalu dibungkus daun pisang. Sementara minumannya adalah teh yang disajikan bersamaan dengan makanannya.
Dilihat dari menu yang disajikan termasuk lumayan baik dan sesuai dengan kaidah empat sehat lima sempurna, susunya diganti dengan teh. Hal ini karena Belanda tidak ingin para pekerjanya mudah terserang penyakit yang dapat menyebabkan produktivitas tambang menurun. Gizi para pekerja tambang harus dijaga agar tetap sehat dan dapat menambang sesuai target sehingga menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda bagi Belanda.
Di dalam musium kita bisa melihat tungku-tungku besar serta peralatan yang digunakan untuk memasak makanan. Selain itu juga terdapat replika bentuk makanan yang disajikan untuk pekerja tambang sambil membayangkan betapa nikmatnya menyantap makanan yang bergizi tersebut. Untuk melengkapi cerita terdapat juga diorama dan foto-foto yang menceritakan kisah kelam para pekerja tambang batubara pada masa penjajahan Belanda.
Gedung musium ini dibangun tahun 1918, untuk menyiapkan konsumsi bagi para pekerja tambang yang semakin banyak jumlahnya. Saat perang kemerdekaan, gedung ini dipakai untuk menyediakan makanan bagi para pejuang, kemudian sempat berubah fungsi menjadi kantor tambang batubara Ombilin hingga tahun 1960. Setelah itu sempat juga digunakan sebagai gedung SMP hingga tahun 1970, dan mess karyawan tambang batubara Ombilin hingga tahun 1980.
Musium Gudang Ransum sendiri baru diresmikan tahun 2005 bersamaan dengan musium kereta api Sawahlunto, sebagai bagian dari sejarah pertambangan batubara di Sumatera Barat. Musium ini dibuka setiap hari kecuali hari Senin mulai pukul 09.00 – 16.00 dengan tarif masuk sebesar 4000 Rupiah saja. Di dalam kompleks Musium juga terdapat gudang persediaan dan pabrik es, yang terletak di belakang bangunan utama.
Bagi para wisatawan khususnya pecinta sejarah, jangan lewatkan berkunjung ke Sawahlunto untuk mengenang sejarah pertambangan batubara, yang diabadikan dalam tiga musium yaitu Musium Kereta Api Sawahlunto, Musium Lubang Tambang Mbah Soero, dan Musium Gudang Ransum. Ketiganya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, namun Musium Kereta Api agak sedikit jauh dan berbeda arah dari pusat kota dengan dua musium lainnya.(Diaz)