Balok-balok batu berserakan di mana-mana, berpusat di gunung yang berusia sangat tua sekali. Tidak hanya di sana tetapi juga di pesawahan, di sekitar rumah-rumah penduduk, bahkan diperkirakan masih tak terhitung jumlahnya tertanam di bawah bukit dan tanahnya yang amat subur. Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Mobil kami melaju pelan melahap tikungan tajam dan tanjakan curam yang datang silih berganti. Sesekali mobil berbadan lebar ini kehilangan tenaga, pertanda persneling harus segera diturunkan. Rekan kami dibelakang pengemudi sejak tadi terlihat berusaha tenang, kini agak tegang karena trek jalanan yang sempit serta disamping kirinya jurang.Diluar jendela, pemandangan alam menghijau memukau kami. Di jalanan ini kami hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain.
Sekitar dua jam kami menempuh jalan berliku akhirnya sampai juga di situs megalitikum Gunung Padang. Dibawah guyuran hujan gerimis disertai angin kencang kami dipandu oleh Pak Dadi penduduk setempat mulai menaiki tangga setapak demi setapak menuju puncak Gunung Padang. Banyak informasi yang saya dapat melalui pria berusia setengah baya ini mengenai situs megalitikum
Menurut penuturan beliau, Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha. Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran yang berbeda-beda, unik sekaligus melayangkan dalam benak Anda, sisa apa ini sebenarnya?
Tepat di puncak gunungnya, bebatuan tersebut berserakan dengan denah mengkerucut dalam 5 teras. Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 SM (Sebelum Masehi). Situs megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur. Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs megalitik Situs Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama Piramida di Mesir.
Sementara itu, bagi masyarakat setempat, mereka meyakini bahwa reruntuhan bebatuan ini berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang ingin membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya mengumpulkan balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi, sayang upaya tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga bebatuan vulkanik massif yang berbentuk persegi panjang itu dibiarkan berserakan di atas bukit. Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan yang sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk oleh tangan manusia. Bebatuan ini jumlahnya sangat banyak dan tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk menamakan 5 teras di gunung ini dengan nama-nama bernuansa Islam, yaitu: Meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog (tempat duduk) Eyang Swasana, Sandaran Batu Syeh Suhaedin (Syeh Abdul Rusman), Tangga Eyang Syeh Ma
rzuki, dan Batu Syeh Abdul Fukor.
Berkaitan umur Situs Gunung Padang, ada yang berpendapat dibangun pada masa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad ke-15 karena ditemukan guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu. Akan tetapi, arkeolog berpendapat lain, situs ini umurnya jauh lebih tua 2500-400 SM. Hal tu berdasarkan bentuk monumental megalit dan catatan Bujangga Manik, yaitu seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda dari abad ke-16 yang menyebutkan suatu tempat yaitu Kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati orang Sunda) berada di hulu Sungai Cisokan yang berhulu di sekitar Gunung Padang.
Sekitar satu jam kami mengamati bebatuan yang berserakan ini, ada rasa kagum dan takjub dengan semua yang ada diatas sini. Saya pun sempat duduk termenung beberapa saat melihat pemandangan yang terhampar dari ketinggian Gunung Padang sambil bergumam, Tuhan.. Engkau tunjukan lagi kebesaranMu dihadapan saya.