Tidak hanya Belanda dan Jepang saja yang pernah menjajah Indonesia, ternyata Inggris juga pernah menjajah Indonesia selama kurang lebih lima tahun lamanya, berdasarkan perjanjian Tuntang akibat kekalahan Belanda dari Inggris di pulau Jawa. Di samping itu perang Napoleon di Eropa turut mempengaruhi penguasaan wilayah jajahannya. Belanda yang dijajah Napoleon di Eropa kalah oleh Inggris sehingga otomatis jajahannyapun ikut dialihkan.
Namun khusus untuk Bengkulu, Inggris sudah lebih dulu masuk jauh sebelum perjanjian Tuntang. Pada tahun 1695, tiga orang utusan dagang Inggris yang berpusat di India tiba di Bengkulu untuk menjalin hubungan dagang dengan penguasa Bengkulu saat itu. Lalu Inggris membangun benteng York di sekitar muara Sungai Serut.
Namun benteng tersebut tak bertahan lama karena kondisi bangunannya yang semakin kritis dan rapuh. Oleh karena itu Joseph Collet sebagai komandan benteng menulis surat kepada pimpinan EIC di India, untuk membangun benteng baru mengingat benteng York sudah tak mungkin lagi diperbaiki. Â Setelah disetujui pimpinan EIC, Collet kemudian membangun benteng baru yang lokasinya tak jauh dari benteng York. Benteng tersebut diberi nama benteng Marlborough, untuk menghormati seorang komandan tentara Inggris bernama John Churchill, yang telah memenangkan berbagai pertempuran dalam perang di Eropa sehingga diberi gelar Duke of Marlborough.
Benteng Marlborough berdiri tegak hingga saat ini dan menjadi saksi bisu masa penjajahan Inggris di Indonesia khususnya di Bengkulu. Bengkulu sendiri kemudian diserahkan kepada Belanda sebagai bagian dari pertukaran wilayah sesuai Traktat London tahun 1824, yang menyerahkan Malaka dan Singapura kepada Inggris, dan sebagai gantinya Belanda memperoleh Bengkulu. Benteng ini tetap difungsikan oleh Belanda hingga masa perang kemerdekaan usai.
Setelah perang kemerdekaan usai, benteng ini sempat digunakan oleh TNI hingga tahun 1977 sebelum akhirnya menjadi musium yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga sekarang. Sebagai musium kondisinya terawat baik dan sebagian besar masih utuh bentuk bangunannya, walau beberapa kali terjadi perang baik dengan penduduk lokal maupun serangan dari negeri lainnya, seperti Jepang yang juga pernah menduduki Bengkulu sebelum Indonesia merdeka.
Uniknya dari benteng ini adalah bentuknya seperti kura-kura dengan kepalanya sebagai pintu gerbang utama, dan kaki-kakinya sebagai sudut benteng yang digunakan untuk mengawasi wilayah sekitar, dari ancaman musuh yang datang dari arah laut maupun darat. Di bagian bawah benteng terdapat ruang tahanan untuk memenjarakan tawanan perang maupun pemberontak pada masa itu. Konon masih terdengar suara-suara aneh dari balik ruang tahanan seperti teriakan kesakitan seperti yang dialami oleh tahanan yang sedang disiksa.
Selain itu terdapat juga barak prajurit dan kantor yang sekarang digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan sejarah benteng tersebut. Â Di tengahnya terdapat taman yang luas untuk menampung para prajurit yang sedang bersiaga menghadapi serangan musuh. Di sini tersimpan beberapa meriam yang pernah digunakan, baik oleh tentara Inggris maupun Belanda selama periode penjajahan di Bengkulu.
Buat pecinta sejarah yang sedang berkunjung ke Bengkulu, wajib untuk mengunjungi musium Benteng Marlborough, karena banyak informasi yang masih tersimpan rapi di dalam galeri musium, selain rumah Bung Karno dan rumah mertuanya selama masa pengasingan. Bengkulu menjadi satu-satunya provinsi yang masih menyimpan kenangan pahit penjajahan oleh Inggris selama 140 tahun lamanya, terutama saat dipimpin oleh Sir Stamford Raffles karena beliaulah penemu bunga Rafflesia Arnoldi yang hanya tumbuh di Bengkulu.
Lokasinya berada di pusat kota lama, tak jauh dari pantai panjang sehingga mudah untuk dijangkau baik dengan berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum. Tak jauh dari benteng juga terdapat tugu Thomas Parr, Residen Bengkulu yang terbunuh akibat insiden dengan penduduk lokal pada tahun 1807. Makamnya juga terletak dekat tugu bersama dengan pemakaman para warga Inggris lainnya yang meninggal di Bengkulu, rata-rata akibat penyakit malaria dan disentri selain karena perang.(Diaz)