Tanjungpinang, Kepulauan Riau mulai bersiap untuk menghadapi event besar mereka yang selalu diadakan setiap tahun, Festival Pulau Penyengat 2020. Festival Pulau Penyengat akan berlangsung pada tanggal 19-21 Maret 2020. Festival Pulau Penyengat memiliki cukup banyak konten menarik yang diperlombakan. Mulai dari Lomba Gurindam XII, Lomba Napak Tilas Sejarah, Lomba Berbalas Pantun, Kompang Kreasi, Dangkong, Kuliner, Lagu Melayu, Berzanji, Gasing, hingga Membaca Puisi. Tidak hanya masyarakat setempat yang mengikuti berbagai kegiatan dan permainan tradisional rakyat ini, tapi juga kelompok-kelompok dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura ikut menyemarakkan acara ini.
Selain itu, pengunjung juga dapat melihat lebih dari 20 kegiatan laut lainnya, seperti lomba dayung sampan, lomba pukul bantal di laut, lomba nambat itik di laut, lomba becak motor hias dan lainnya.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Festival Pulau Penyengat 2020 ini, akan mendapat dukungan penuh dari Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Kemenpar sudah memasukkan Festival Pulau Penyengat 2020 ke dalam kalender pariwisata nasional atau Calendar Of Event (COE) 2020. Artinya, pemerintah pusat akan ikut membantu sebagian besar kegiatan pariwisata dan kebudayaan tersebut, mulai dari promosi hingga bentuk kegiatannya.
Sejarah Pulau Penyengat
Penyengat merupakan pulau kecil yang berjarak kurang lebih 2 km dari Kota Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau dan 5 km dari Pulau Batam. Pulau ini memang berukuran kecil, karena jarak terpanjang hanya 2.000 meter dan lebarnya sekitar 850 meter. Pulau Penyengat sudah menjadi salah satu objek wisata di Kepulauan Riau dan menjadi kebanggaan warga Kepulauan Riau, karena banyak meninggalkan situs bersejarah peninggalan kerajaan Riau.
Nama Penyengat karena dahulu kala pulau ini dihuni sejenis serangga yang memiliki sengat. Dan karena itu pula, saat itu Belanda sering menyebut sebagai Pulau Mars.
Sejarah lainnya menceritakan bahwa, Pulau Penyengat merupakan mas kawin dari Raja Johor-Pahang-Riau-Lingga, Sultan Mahmud Syah III (1756-1811), kepada Engku Putri Raja Hamidah (1764-1844) saat mereka menikah di Riau pada tahun 1804. Dan pada tahun 1800-an, Pulau Penyengat menjadi tempat kediaman Sultan Riau-Lingga. Sisa-sisa kebesaran kerajaan tersebut masih terlihat, seperti gedung-gedung tua, bangunan bekas istana, sumur, benteng serta taman peninggalan kerajaan. Meskipun tampak terlihat kumuh dan sebagian sudah tinggal puing-puing berserakan, namun hal itu masih jelas terlihat. Selain itu, keberadaan makam Engku Putri Permaisuri Sultan Mahmud III, Raja Haji Marhum, Marhum Jaafar, dan Marham Kampung Bulang masih tertata utuh. Banyak turis yang berdatangan ke lokasi ini untuk berwisata serta melakukan napak tilas Kerajaan Melayu.
Untuk mencapai ke Pulau Penyengat, transportasi yang digunakan adalah kapal dari kota Tanjungpinang, dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit. Karena pulau ini memang tidak begitu luas, berkeliling pulau dapat menggunakan sepeda motor atau bendi motor (bentor), salah satu transportasi darat yang cukup terkenal disana. Dengan bendi dapat mengangkut dua hingga tiga orang sekali jalan.
Di sana ada Masjid Sultan Riau yang juga menjadi tujuan wisata. Bangunan mesjid ini begitu megah, dengan warna kuning menyolok. Konon ini terbuat dari bahan putih yang dicampur dengan pasir, kapur dan tanah liat yang digunakan sebagai perekat.
Masjid yang dibangun pada masa Pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman ini, memiliki 13 kubah yang bentuknya seperti bawang. Bagian dalamnya terdapat Al Quran yang ditulis tangan oleh Abdurrahman Stambul, seorang penduduk Pulau Penyengat. Selain Masjid Raya Sultan Riau, juga ada Gudang Mesiu. Lokasi ini memang menjadi tempat penyimpanan mesiu. Selain itu juga ada Komplek Makam Raja Abdurrahman. Disini terdapat sekitar 50 makam yang terdiri dari anggota keluarga hingga penasihat kerajaan. (Kuniel)