Rumah milik warga Tionghoa, Djiauw Kie Siong, yang berada di daerah Rengasdengklok, Karawang, jadi saksi sejarah awal kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Soekarno beserta anak dan istri diamankan oleh sekelompok pemuda di tempat itu, untuk menghindari pengaruh Jepang yang menjanjikan akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 setelah didesak para pemuda, Soekarno dan Muhammad Hatta yang didampingi para pemuda melaksanakan upacara pengibaran Bendera Merah Putih dan membacakan teks Proklamasi. Di rumah itu pula Soekarno merumuskan teks proklamasi yang dibacakan.
Para pemuda menganggap kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II adalah momen yang tepat bagi Bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri, mengingat kekuatan Jepang yang mulai melemah. Peristiwa perundingan di rumah Djiauw Kie Siong itu kemudian kita sebut dengan peristiwa Rengasdengklok.
Kini, setelah 71 tahun lebih bangsa ini merdeka, jejak sejarah tersebut masih ada bahkan menjadi salah satu obyek wisata. Bentuk dan ornamen rumah dibiarkan asli seperti ketika Soekarno menginap. Memang unik. Tetapi bedanya kini rumah bersejarah itu lokasinya telah dipindahkan dan terletak sekitar 100 meter dari Monumen Kebulatan Tekad. Dulu, letak rumah itu berada didekat Monumen Kebulatan Tekad.
Pemindahan ini dilakukan karena lokasi aslinya terkena luapan lumpur saat terjadi erosi di Sungai Citarum pada tahun 1957. Pemindahan tersebut dilakukan atas perintah Soekarno. Karena itu pula di lokasi aslinya, kemudian dibangun Monumen Kebulatan Tekad.
Rumah yang sebagian besar bahan bangunannya diambil dari rumah aslinya ini, hingga saat ini diurus oleh cucu Djiauw Kie Siong, dengan desain bangunan tidak jauh berbeda dengan rumah asli.
Di rumah ini, pengunjung dapat menemukan beberapa benda asli seperti cermin, meja, foto, lukisan, ranjang bekas istirahat Soekarno, kursi tempat berunding serta bale-bale yang terletak di depan rumah.
Mengenai rumah warisan kakeknya, cucu dari Djiauw Kie Siong menyatakan, keprihatinannya pada kondisi rumah yang dikelolanya ke depan. Ia mengaku kesulitan dana dalam merawat rumah tersebut. Walaupun sebagian besar keasliannya sudah hilang, namun menurutnya rumah ini tetap memiliki nilai sejarah, apalagi pemindahan rumah tersebut bukan karena disengaja, tapi karena musibah erosi Citarum.
Setiap bulan pihak keluarganya mengaku mendapatkan uang intensif alakadarnya dari Museum Kepurbakalaan di Serang Banten. Namun jumlah uang tersebut tidaklah cukup, bila dibandingkan dengan beban perawatan yang besar. Apalagi mereka bertambah tugas karena banyak pengunjung yang datang.